Cerita Sukses Petani Kelapa Sawit Pelalawan Riau, Masa Depan Anak Jadi Tak Galau

Cerita Sukses Petani Kelapa Sawit Pelalawan Riau, Masa Depan Anak Jadi Tak Galau

Meskipun sedang mendapat penolakan dari Uni Eropa dengan aturan anti deforestasi, berkebun kelapa sawit tetap menyimpan cerita sukses petaninya. Dengan ketekunan yang konsisten mampu menyekolahkan anak petani ke jenjang pendidikan tinggi. Mengelola kebun sawit bisa menganngkat taraf hidup petaninya di atas garis kemiskinan.

Kelapa sawit telah memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat Provinsi Riau sebagai daerah terluas lahan produksi bahan baku minyak goreng tersebut. Kabupaten Pelalawan pun tumbuh bersama komoditas sawit sejak masih tergabung dalam Kabupaten Kampar pada masa lalu.

Semua pihak bekerja sama mencapai kesejahteraan tersebut seperti halnya petani dan perusahaan sawit. Seperti beberapa pabrik kelapa sawit yang menerima tandan buah segar dari petani di Kabupaten Pelalawan. Tak heran sering terungkap, Bumi Riau bawah mengandung minyak dan atasnya bergelantungan minyak juga.

Baik lembaga maupun perseorangan bermitra dengan perusahaan sawit swasta maupun milik pemerintah sehingga memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak. Atas usaha selama kurun waktu 30 tahun lebih, kesejahteraan telah dinikmati masyarakat seperti dirasakan pria bernama Sumari Aziz Bimantoro yang akrab disapa Babe.

Pada usia 62 tahun, Babe sudah mencapai kesejahteraan yang bisa dibilang sangat mapan. Enam anaknya sudah tamat kuliah sarjana, dua orang lagi melanjutkan S-2 di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan seorang lagi mendapat beasiswa kuliah di Jepang.

Anaknya bernama Ria Agustina kuliah di Jepang jurusan Hubungan Internasional. Kuliah pertamanya di Universitas Gadjah Mada dan meraih predikat terbaik hingga dapat beasiswa ke Jepang. “Sekarang adiknya di ITB semester pertama, nilainya A dan B+ saja,” ujarnya bangga,” katanya seperti mengutip antara, Minggu (26/11/2023).

Segala pencapaian itu takkan tercapai kalau dia dulu tidak nekat datang dari Banyuwangi, Jawa Timur, pada tahun 1991. Padahal waktu itu ia hanya menengok kakak iparnya yang masuk penjara gara-gara berbuat melanggar hukum di perusahaan tempatnya bekerja.

Takdir berkata lain. Kakaknya yang merupakan peserta program transmigrasi itu meminta Babe menetap di Bumi Lancang Kuning Riau ini. Babe yang tidak mengikuti program transmigrasi disuruh membeli tanah kaveling menggantikan kakak iparnya yang mengelola lahan. Hingga waktu berjalan, dengan berbagai jatuh bangun yang dilalui, dia akhirnya menjadi Ketua Koperasi Unit Desa Amanah SP4 Kerumutan dan menorehkan kisah sukses tersendiri bagi diri dan rekan-rekannya. 

Janjikan kesejahteraan

Petani sawit di Kabupaten Pelalawan mulai berkembang pada 1998 hingga 2000. Bahkan ada yang punya kebun sawit seluas 60 hektare. Dia pun menjadi salah satunya bersama-sama dengan petani lain yang berhasil meraih pencapaian itu.

“Yang pandai, kavelingnya ‘disekolahkan’, pinjam bank Rp30 juta untuk beli kebun, beli kebun lagi. Tanam sendiri, jangan diburuhkan. Setelah lunas dan sertifikat keluar dari bank, pinjam lagi dan beli (lahan) lagi sampai lunasi semua pinjaman. Kayak gitu saya ajarin. Saya usaha gak merasa menyaingi atau tersaingi, saya bina semua yang mau jadi. Kadang saya memodali karena saya ini ingat waktu dulu masih susah,” ceritanya.

Setelah berkembang, Babe mulai membeli mobil, tahun 1993 sudah punya tiga truk, satu mobil segmen menengah dan satu lagi mobil kelas atas. Hingga akhirnya mempunyai sembilan truk untuk keperluan mengangkut sawit.

“Yang punya sembilan truk di desa ini cuma saya, dan orang transmigrasi pertama yang punya juga saya.

post-cover

Usai bertani dan bergabung di KUD, Babe kemudian mengembangkan usaha dengan menjadi penyedia buah atau pemasok tandan buah segar (TBS) ke PT SLS. Dia pun turut mencarikan TBS dari petani untuk dijual ke pabrik. Dengan begitu, dia pun mendirikan tempat penampungan TBS atau biasa disebut peron di Sorek, masih di Kabupaten Pelalawan.

Babe pun fokus dengan aktivitas itu sehingga tidak lagi berupaya memperluas kebun. Saat ini tinggal 10 kaveling atau 20 hektare. Akan tetapi dengan menjual TBS ke pabrik, ia bisa punya 30 truk tronton. Dia pun juga sudah menyewa pabrik di Jambi untuk mengolah sawit.

Atas usahanya tersebut, Babe terpilih menjadi mitra terbaik Astra Agro se-Indonesia pada tahun 2022 lalu. Dia pun mendapatkan satu unit mobil. Azis mengatakan hal ini merupakan pencapaian terbesar yang pernah dia dapatkan. “Menjadi mitra perusahaan nomor satu se-Indonesia adalah kebanggaan tersendiri,” ucap dia.

Dengan usaha itu, pundi-pundi keuangan Babe semakin menjulang. Untuk rumah saja Babe punya empat di Pekanbaru, satu di Malang, di Banyuwangi dan di Jember. Sebuah mobil mewah yang hanya dimiliki kalangan terbatas  pun ia miliki sebagai bukti kerja kerasnya. 

Jadi Tumpuan Warga

Berbeda dengan Babe yang datang dari Banyuwangi. Rezeki kelapa sawit juga dinikmati warga lokal di Kabupaten Pelalawan. Salah satunya adalah Jasman yang berasal dari Desa Gedung, Kecamatan Pangkalan Lesung.

Jasman lahir tahun 1976 dan cuma tamat sekolah dasar. Kehidupan kala itu, kisahnya, sangat minim, jauh dari sekolah, ekonomi juga sulit, transportasi dengan jalan kaki sampai setengah hari. Maklum namanya perkampungan, adanya cuma pondok tiga biji. Ada lagi tempat lainnya namun jarak yang jauh.

Jasman mengaku pernah mengenyam sekolah menengah pertama tapi hanya 3 bulan. Saat ayah kandungnya meninggal, ia ikut ayah tiri namun tak mau menyekolahkannya. Akhirnya, dia ikut kakak ipar, namun baru masuk tiga bulan SMP iparnya meninggal. Dia pun mencoba menderes karet dan mulai bekerja menanam sawit.

Dia pun mengaku bosan menderes karet sehingga bekerja harian di pabrik pengolahan sawit saat berumur sekitar 14 tahun. “Lalu saya minta kerjaan, dari pada saya nyolong, nanti dipenjara. Jadi saya minta kerja, apa yang dikasih saya kerjakan. Jadi kerjaan itu serabutanlah, yang penting bisa makan,” kenangnya.

Pada tahun 1999, dia pernah jadi satpam di perumahan pabrik. Ketika itu dia juga sudah gabung dengan KUD untuk transportasi sawit. Jadi ketika malam dia menjadi satpam dan siangnya mengurus KUD dengan anggota 400 orang.

Dari 400 orang itu,  cuma 50 orang lokal, 350 lainnya adalah pendatang program transmigrasi dengan jumlah kaveling kebunnya 800 ha. Dulu seorang transmigran dijatah dua hektare, namun dalam perjalanannya ada yang tak tahan sehingga lahannya dijual dan balik lagi ke Jawa.

“Walaupun aku orang sini, aku nggak punya kebun walaupun sejengkal. Lalu pada tahun 1994 aku baru beli lahan,” katanya.

Dia pun akhirnya memutar otak agar bisa bertahan hidup hingga akhirnya menjadi mitra transportasi KUD untuk mengantar buah.

Dia menjadi mitra PT SLS dari 2005. Dari sana, Jasman sering masuk kantor PT SLS dan menawarkan apa yang bisa dikerjakan. Mulai dari mengangkut karyawan, buruh harian lepas, hingga mengantar anak sekolah.

Selanjutnya pada 2006, dia juga mendapat pekerjaan kontrak mengangkut janjangan kosong (jangkos) dan tandan kosong (tankos) sawit sejak 2006. Sampai pada 2015 pakai nama pribadi dan setelah itu atas nama perusahaan.

“Kita punya armada, tapi tidak semua milik perusahaan, ada sewa. Kawan-kawan juga ada yang punya mobil. Kalau saya beli mobil sampai 10 unit secara kredit,” sebutnya.

Dia bersyukur perusahaan itu percaya dengannya. Namun begitu, dia berprinsip apa saja dikerjakan. Yang penting dapat makan, bahkan tidak pernah menanyakan harga.

“Anakku empat orang, anak pertama kelahiran 1997. Dia cuma tamat SMA. Paling tinggi yang nomor dua sempat kuliah kemarin tapi gagal, sekarang jadi admin. Kalau yang nomor tiga baru berangkat kuliah di Padang,” katanya.

Kisah sukses Babe dan Jasman menunjukkan bahwa kerja keras, tekun, dan pantang menyerah selalu berbuah manis di kemudian hari. 

Sumber: Inilah.com